Shalat menurut Rumi

Jalaluddin Rumi menyeru seseorang yang akan shalat:
Kau berdiri shalat layaknya sebuah lilin di ceruk sebuah mesjid yang menghadap Makkah.
Ingatlah dan sadarilah makna takbir pertama (takbiratul ihram) yang berarti Allah Maha Besar.
Itu artinya: Ya Tuhan kami! Kami kurbankan diri kami di dalam kehadiran-Mu! Dan dengan
mengangkat tangan ke arah telinga kami kami tinggalkan apa pun di belakang kami, dan kami
hadapkan diri kami pada-Mu!
Takbir pertama “Allahu akbar” layaknya takbir ketika menyembelih kurban. Dengan takbir ini
kau mestinya menyembelih hasrat nafsumu.
Pada saat itulah tubuhmu seumpama Ismail dan jiwamu layaknya Ibrahim. Saat jiwamu berkata
“Allahu Akbar” maka tubuhmu tercerabut dari segala hasrat dan shahwat. Dan saat kau berkata
“Dengan nama Allah, Yang Maha Rahman dan Rahim”, tubuh pun dikurbankan.
Siapa yang shalat berdiri di barisan shaff layaknya pasti begitu di Hari Pengadilan; mereka
mulai mempertanggungjawabkan amal perbuatan dan menyeru Allah.
Berdiri di dalam shalat sambil menangis senada dengan berdiri di depan Allah di Hari
Pengadilan setelah bangkit dari kubur. Allah akan menanyaimu: “Apa yang telah Anda kerjakan
di dunia? Apa yang telah Anda dapatkan dan apa yang Anda bawa kepada-Ku?”
Pertanyaan-pertanyaan seperti ini terbit di dalam pikiran saat menyadari kehadiran Allah di
dalam shalat.
Saat berdiri shalat seorang hamba merasa malu, maka ber-rukuk-lah ia karena tak mampu
berdiri karena malunya yang tak tertanggungkan. Saat merunduk rukuk ia mengagungkan Allah
dengan berkata “Maha besarlah Allah, Maha besar” (Allahu Akbar)
1 / 6
Shalat Menurut Rumi
Written by Pustaka Iman
Wednesday, 11 May 2011 17:31 –
Maka Allah bertitah pada hamba itu: “Angkat kepala dan jawablah pertanyaan!”
Hamba itu mengangkat kepala dengan malu-malu, tapi dia tak tahan dengan kondisi ini dan kali
ini ia (bersimpuh) sujud.
Lalu ia kembali mengangkat kepala, tapi ia tak mampu lagi dan bersujud kembali.
Maka Allah berkata: “Angkat kepalamu dan jawablah. Aku akan bertanya tentang apa yang
telah kau lakukan dalam hidupmu.”
Kata-kata dari Allah begitu kuat padanya sehingga ia tak dapat berdiri. Dan karenanya ia pun
duduk dengan lutut dilipat. Allah berkata: “Aku telah limpahkan berbagai anugerah dan nikmat
kepadamu, bagaimana kau gunakan itu semua? Apakah kau berterima kasih? Aku telah
berikan kekayaan materi dan spiritual; apa yang kau dapatkan dari itu semua?”
Lalu hamba itu menolehkan wajah ke kanan dan mengucapkan salam kepada ruh Nabi Saw
dan para malaikat. Dan ia berkata: ‘Wahai tuan-tuan di dunia ruh! Mohonkan tolong kepada
Allah untuk hamba yang papa ini; kaki dan baju hamba…’”
Nabi Saw menjawab hamba yang berucap salam ini: ‘Waktu untuk memohon tolong telah habis.
Harusnya kau lakukan ini semua saat di dunia. Kau tidak berbuat baik di sana, tidak shalat, dan
menyia-nyiakan waktumu!’”
Lalu hamba itu menoleh ke kiri dan meminta tolong kepada sanak saudara. Mereka menjawab:
“Jangan minta tolong kepada kami. Kami ini siapa? Mestinya kau menjawab Tuhanmu tentang
dirimu!”
Hamba yang tak dapat pertolongan itu kecewa. Dengan meninggalkan harapan dari mana pun
ia kembali memohon pertolongan kepada Allah, memohon perlindungan pada-Nya dan sambil
mengangkat tangan ia berdoa: “Wahai Tuhanku! Aku tinggalkan harapan dari siapa pun. Kaulah
yang Pertama, yang Terakhir, dan yang Satu-satunya untuk hamba seru, dan juga yang
Terakhir untuk hamba lirik. Aku mohon perlindungan di dalam rahman rahim abadi-Mu.”
Rumi melanjutkan:
2 / 6
Shalat Menurut Rumi
Written by Pustaka Iman
Wednesday, 11 May 2011 17:31 –
Lihat isyarat-isyarat menyenangkan dari shalat ini dan ingatlah kepada siapa kau akan
menghadap. Kerahkan seluruh dirimu dan berusahalah mendapat manfaat fisik maupun
spiritual dari shalatmu. Jangan tundukkan kepalamu seperti seekor burung mematuk-matuk
padi di tanah! Perhatikan sabda Nabi: ‘Pencuri paling buruk adalah seseorang yang mencuri
shalatnya.’” (Hakim, Mustadrak,I,353)
Jika seseorang shalat dengan penuh takzim dan memohon kepada Allah dengan penuh
kesadaran akan kasih sayang-Nya, nisccaya Allah membalasnya dengan ucapan penuh
penghormatan, “Aku bersedia melayani Anda.”
Nabi Saw berkata tentang derajat khusyuk shalat: Dua orang shalat secara terpisah di sebuah
tempat dan waktu yang sama. Namun, perbedaan keduanya begitu besar layaknya antara
langit dan bumi.” (Ihya).
Karena itu, Al-Quran menunjukkan bahwa mukmin sejati tak lain adalah mereka yang
benar-benar khusyuk shalatnya: “Dan orang-orang yang memelihara shalatnya.” (Al-Maarij
70:34).
Dikatakan pula di dalam surah yang sama di dalam Al-Quran: yang Mereka itu tetap
mengerjakan shalatnya (Al-Maarij [70]:23)
Mereka yang kasyaf (berpengalaman secara spiritual) mengatakan bahwa:
Maksud ayat ini adalah untuk mengungkapkan spirit shalat karena manifestasi lahir shalat tidak
dapat bertahan kekal. Sebaliknya spiritlah yang menunduk dan bersujud. Shalat yang kekal tak
lain adalah mengingat Allah sepanjang waktu.
Maulana Jalaluddin Rumi juga mengartikan ayat ini secara metaforis:
“Hamba itu menjaga hatinya di dalam shalat maupun setelahnya. Dengan begitu ia
menghabiskan hidupnya dengan khusyuk dan beradab, dan selalu menjaga mulut dan jiwanya.
Inilah jalan para pecinta Allah.”
Rumi melanjutkan:
Shalat yang menjaga kita dari perbuatan jahat itu dilakukan lima kali sehari. Namun para
3 / 6
Shalat Menurut Rumi
Written by Pustaka Iman
Wednesday, 11 May 2011 17:31 –
pecinta Allah selalu dalam keadaan shalat karena cinta yang menyala di dalam jiwa mereka
dan cinta Ilahi yang menghidupkan paru-paru mereka tak kan tenang dengan shalat lima
waktu.”
Shalat para pecinta Allah layaknya keadaan seekor ikan di dalam air. Seperti halnya ikan tak
kan bisa hidup tanpa air, jiwa kekasih Allah tak kan mendapatkan kedamaian tanpa
terus-menerus shalat. Karena itu, ungkapan “jangan sering kunjungi aku!” bukanlah untuk para
pecinta Allah. Jiwa para pecinta itu selalu haus bergelora.
Jika seorang kekasih terpisah dari cintanya bahkan hanya sesaat, terasa olehnya bagai beribu
tahun lamanya. Dan jika ia habiskan beribu tahun dengan yang paling ia cintai maka terasa
olehnya bagai sesaat saja. Karena itulah seorang kekasih Allah selalu dalam shalat dan dengan
inilah ia bertemu Allah. Bila ia luput dari satu shalat, ia rasakan bagai luput dari beribu-ribu
shalat.
Hai orang yang bijak dan cerdas! Di luar jangkauan akal memahami kesatuan dengan Allah di
dalam shalat. Ia hanya bias dipahami dengan mengurbankan akal demi Kekasih dan hati yang
hidup kembali.
Dan hati yang hidup kembali bergantung pada kiblat mana seorang hamba menghadap.
Rumi berkata tentang macam-macam kiblat berikut ini:
“Kiblat para raja adalah mahkota dan daerah kekuasaan; dan kiblatnya si empu otak duniawi
adalah emas dan perak; dan kiblat para pencinta materi adalah berhala; dan kiblatnya para
pecinta ruh adalah hati dan jiwa; dan kiblatnya para zahid adalah mihrab mesjid; dan kiblatnya
orang yang tanggungjawab adalah perilaku sia-sia; dan kiblatnya si pemalas adalah tidur dan
makan; dan kiblatnya manusia adalah pengetahuan dan kebijakan.
Kiblat pecinta adalah kesatuan abadi dan kiblat si bijak adalah wajah Allah; dan kiblat si empu
otak duniawi adalah harta milik dan pangkat; dan kiblatnya darwis adalah ketentuan perintah
agama; dan kiblatnya syahwat adalah hasrat dunia; dan kiblatnya orang yang menahan diri
adalah percaya pada Allah.” (1)
Kita mesti sadar bahwa kiblat yang kita hadapi dalam shalat bukanlah bangunan ka’bah,
melainkan tempat di mana Ka’bah ditempatkan. Jika ka’bah dapat dipindah-pindahkan maka
4 / 6
Shalat Menurut Rumi
Written by Pustaka Iman
Wednesday, 11 May 2011 17:31 –
tidaklah layak menjadi kiblat shalat.
Karena itu seseorang mesti menghadapkan hatinya kepada Allah sementara tubuhnya
menghadap ka’bah. Karena kiblat hati tak lain adalah Allah.
Di sisi lain, agar dapat shalat dengan khusyuk seseorang haruslah niat sepenuhnya untuk
melakukan shalat sebagaimana sabda Nabi Saw, “perbuatan tergantung pada niatnya.” Ini
artinya sadarilah kita berada di dalam kehadiran siapa saat shalat. Ini menuntut pemeriksaan
terhadap hasrat-hasrat hati dan juga menceraikan seluruh tujuan selain takorrub kepada Allah.
Seseorang harus merasakan keagungan Allah begitu memulai shalat dengan mengucapkan
Allahu akbar. Saat ia mengangkat tangannya ke arah telinga ia harus meninggalkan apa pun di
belakangnya. Seseoang yang sedang shalat mesti merasakan senangnya berada di dalam
kehadiran Allah di dalam hatinya. Ia mesti merasa seolah telah meninggalkan dunia fana ini
menuju akhirat saat memulai shalat.
Ketika berdiri ia harus memusatkan pandangannya pada tempat ia meratakan kepalanya dalam
bersujud. Ia harus selalu merasa di dalam kehadiran Allah, dan bahwa ia tak berdaya dan
karenanya selalu butuh Allah. Ia mesti berusaha untuk termasuk jajaran hamba yang dipuji
Allah dengan kata-Nya “Alangkah baiknya hamba ini”.
Saat membaca Al-Quran ia harus membaca dengan baik, dan juga berusaha memahami dan
merenungkan maknanya untuk diamalkan dalam hidup. Nabi Saw mengatakan bahwa
“membaca Al-Quran berarti berbicara kepada Allah.” (Abu Nuaim, Hilya,7,99). Karena itu, hati
seseorang mesti waspada saat membaca Al-Quran.

Diterjemahkan dari Shalat according to Rumi
http://www.namazzamani.net/english/salat_according_to_rumi.htm
——
(1) Versi Inggris kutipan ini agaknya merupakan kutipan bebas yang tidak langsung, sehingga
5 / 6
Shalat Menurut Rumi
Written by Pustaka Iman
Wednesday, 11 May 2011 17:31 –
tidak ada keterangan sumber Mathnawi bagian mana, dan terasa kurang indah dan fasih.
Bandingkan dengan kutipan langsung dengan topik serupa:
Ka’bah untuk ruh
dan Jibril: pohon Sidrah,
Kiblat pelahap:
yaitu taplak meja
Kiblat untuk ahli makrifat:
cahaya persatuan dengan Tuhan.
Kiblat filsafat, nalar,
adalah:pikiran kosong!
Kiblat sang zahid:
Tuhan maha pemurah.
Kiblat si tamak:
pundi-pundi berisi emas.
Kiblatnya mereka yang melihat
makna sejati, adalah kesabaran.
Kiblat mereka yang hanya menyembah
bentuk-bentuk: sosok batu
Kiblatnya kaum esoteric
yaitu Dia, Tuhan Rahmat.
Kiblatnya kaum eksoteris
yaitu wajah wanita….(M IV 1896)
(akulah angin engkaulah api; Hidup dan Karya Jalaluddin Rumi, Mizan, hal 225)

Tinggalkan komentar